A.
Perkembangan
Hubungan Sosial Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1.
Pengertian
Hubungan Sosial
Pada proses interaksi sosial ini, faktor intelektual
dan emosional mengambil peran yang sangat penting dan menempatkan anak-anak
sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi, internalisasi,
dan enkulturasi. Sebab, manusia tumbuh dan berkembang didalam konteks
lingkungan sosial budaya. Lingkungan itu dapat dibedakan atas lingkungan fisik,
lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Lingkungan social memberikan banyak
pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak, terutama kehidupan sosiospikologis.
Sosialisasi pada dasarnya merupakan proses
penyesuaian diri terhadap kehidupan sosial, yaitu bagai mana seharusnya
seseorang hidup dalam kelompoknya, baik dalam kelompok primer (keluarga) maupun
kelompok sekunder (masyarakat). Proses sosialisasi dan interaksi sosial dimulai
sejak manusia lahir dan berlangsung hinggga ia dewasa. Menurut Piaget,
interaksi sosial anak pada tahun pertama sangat terbatas, terutama hanya dengan
ibu dan ayahnya saja dan terpusat pada egonya, belum memperhatikan
lingkungannya. Baru pada tahun kedua, ia mulai mereaksi lingkuang secara aktif.
Prilaku emosionalnya telah berkembang dan berperan. Ia telah belajar membedakan
dirinya dengan oranglain, selain mengenal kedua orang tuanya, mengenal
keluargadan teman-teman sebayanya. Saat mulai belajar di sekolah, ia mulai
mengembangkan interaksi sosial dengan belajar menerima pandangan, nilai dan
norma social. Menginjak masa remaja, ia mampu berinteraksi dengan teman
sebayannya, terutama lawan jenisnya, pada akhirnya, pergaulan sesama manusia
menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupannya. Kebutuhan bergaul dan berhubungan
social dengan oranglain ini mulai dirasakan sejak anak berusia enam bulan. Pada
saat itu, anak telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu, ayah, dan
anggota keluarganya. Mulai mengenal dan mampu membedakan social, seperyti
marah, senyum, dan kasih sayang. Dan menyadari bahwa manusia itu saling
membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi dan mempertahankan kehidupannya
dimasyarakat.
Dengan demikian, jelas bahwa hubungan social
merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan dan dimulai dari
tingkatan yang sederhana dan terbatas sampai pada tingkatan yang lebih luas dan
kompleks, semakin dewasa dan bertambah umur, tingkat hubungan social juga
berkembang menjadi amat luas dan kompleks. Pada jenjang perkembangan remaja,
seorang remaja bukan saja memrlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya, tetapi untuk betpartisipasi dan berkontribusi memajukan kehidupan
masyarakatnya.
2.
Karakteristik
Perkembangan Sosial Remaja
Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan, remaja
mulai memperhatikan dan memahami nilai dan norma pergaulan dalam kelompok
remaja, kelompok anak-anak, kelompok orang dewasa, dan kelompok orang tua.
Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis sangat penting, tetapi tidak mudah
dilakukan. Kehidupan social usia remaja ditandai oleh menonjolnya fungsi
intelektual serta emosionalnya, dan mengalami sikap hubungan social yang
bersifat tertutup ataupun terbuka seiring dengan masalah pribadi yang
dialaminya. Erik Erickson menyatakan keadaan ini sebagai krisis identitas.
Proses pembentukan diri dan konsep diri merupakan suatu yang kompleks. Konsep
diri tidak hanya terbentuk dari bagaimana remaja percaya tentang keberadaannya,
tetapi juga bagaimana orang lain menilai tentang keberadaannya.
Erickson mengemukakan bahwa perkembangan remaja
berada pada tahap keenam dan ketujuh dari 8 tahapan remaja menuju jenjang usia
dewasa. Dalam tahapan tersebut remaja mulai menemukan jati dirinya sesuai
dengan atau berdasarkan situasi kehidupan yang mereka alami.dalam hal ini,
Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh
sosiokulkutural. Berbeda dengan pandangan Sigmud Freud bahwa kehidupan social
remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksualnya.
Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk
kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar, yang dipilih didasari oleh
derbagai pertimbangan, seperti, moral, ekonomi, minat, dan kesamaan bakat dan
kemampuan. Factor penyesuaian diri adalah masalah yang umum dan rumit yang
dihadapi olah remaja. Didalam kelompok besar akan terjadi persaingan ketat
karena tiap individu bersaing untuk tampil menonjol, dan biasanya hal ini
menjadi penyebab terjadinya perpecahan. Selain itu di dalam kelompok terbentuk
juga suatu persatuan dan rasa solidaritas yang kuat yang diikat oleh nilai dan
norma kelompok yang telah disepakati bersama. Nilai positif dalam kehidupan
berkelompok adalah tiap-tiap anggota belajar berorganisasi, memilih pemimpin,
dan mematuhi peraturan. Ada kalanya, tindakan kelompok kurang mengindahakan
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat karena lebih memperhatikan
keutuhan kelompoknya. Dalam mempertahankan dan melawan serangan kelompok lain,
merka mengutamakan rasa solidartitas serta semangat persatuan dan keutuhan
kelompoknya tanpa mempedulikan objektivitas kebenaran
Dalam kelompok kecil yang terdiri dari pasangan
remaja yang berbeda jenis, penyesuaian diri tetap menjadi permasalahan yang
cukup berat, karena dalam penyesuaian diri kemampuan intelektual dan emosional
mempunyai pengaruh yang kuat. Saling pengertian dan kekurangan dan kelebihan
masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolkan diri terhadap pasangannya,
memerlukan tindakan intelektual yang tepat dan kemampuan mengendaliak
emosional. Dalam hal hubungan yang lebih khusus, yang mengarah pada pemilihan
pasangan hidup, pertimbangan factor agama dan suku bangsa menjadi masalah yang
amat rumit. Karena masalah ini bersangkutan dengan kepentingan keluarga dan
kelompok masyarakat yang lebih besar.
3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
a.
Faktor
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang
memberikan banyak pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan social anak dan
merupakan media sosialisasi yang paling efektif. Dalam keluarga berlaku nilai
dan norma kehidupan yang harus dipatuhi. Sika orang tua yang terlalu mengekang
dan membatasi pergaulan akan berpengaruh
terhadap perkembangan social bagi anak-anaknya, sebaliknya jika terlalu
memberikan kebebasan akan menyebabkan perkembangan anak akan tidak terkendali.
b.
Kematangan
Proses sosialisasi tentusaja memerlukan kematangan
fisik dan psikis. Untuk member dan menerima pandangan atau pendapat orang lain
diperlukan kematangan intelektual dan emosional. Selain itu, kematangan mental
dan kemampuan berbahasa ikut pula menentukan keberhasilan seseorang dalam
berhubungan sosial.
c.
Status
sosial ekonomi
Masyarakat akan memandang seorang anak dalam
konteksnya yang utuh dengan keluarga anak itu. Dari pihak anak itu sendiri,
prilakunya akan memlihatkan kondisi normative yang telah ditanamkan oleh
keluarganya. Ia akan menjaga status sosial telah ditanamkan oleh keluarganya.
Hal itu mengakibatkan anak akan menempatkan dirinya dalm pergaulan yang tidak
tepat dan akan berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi terisolasi dari
kelompoknya. Akibat lain, anak-anak dari keluarga kaya akan membentuk kelompok
elit dengan nilai dan norma sendiri.
d.
Pendidikan
Pendidikan merupakan media sosialisasi yang terarah
bagi anak. Pendidikan sebagai pengoper ilmu yang normative, akan member warna
terhadap kehidupan sosial anak dimasa yang akan dating. Pendidikan moral
diajarkan secara terprogam untuk membentuk kepribadian anak agar mereka bertanggung
jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
e. Kapasitas
mental: emosi dan inteligensi
Kapasitas emosional dan kemampuan
berfikir mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan
masalah, berbahasa, dan menyesuaikan diri terhadap kehidupan masyarakat. Anak
yang berkemampuan intelektual tinggi dan memiliki emosi yang stabil akan mampu
memecahkan berbagai permasalahn hidupnya di massyarakat. Oleh karena itu,
kemampuan intelektual tinggi, pengendalian emosional secra seimbang sangat
menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Remaja yang
berkemampuan intelektual tinggi mampu bersikap saling pengertian dan kemampuan
memahami orang lain.
4.
Pengaruh
Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
Dalam perkembangan sosial, para remaja dapat
memikirkan perihal dirinya dan oranglain yang terwujud dalam refleksi diri, yang
sering mengarah pada penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan
orang lain. Pikiran ramaja sering dipengaruhi ole ide-ide dan teori-teori yang
menyebabkan sikap kritisnya terhadap situasi dari orang lain, termasuk orang
tuanya. Sikap kritis ini juga ditunjukkan dalam hal-hal yang sudah umum baginya
pada masa sebelumnya, sehingga ia merasa bahwa tata cara, adat istiadat yang
berlaku di lingkungan keluarga bertentangan dengan sikap kritis yang tampak
pada pelakunya.
Pengaruh
egosentris masih sering terlihat pada pikiran remaja, karena hal berikut:
a. Cita-cita
dan idealism yang baik, terlalu menitikberatkan pikiran sendiri, tanpa
memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan yang mungkin
menyebabakan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan.
b. Kemampuan
berfikir dengan pendapat sendiri belum disertai pendapat orang lain dalam
penilaiannya.
Pencerminana sifat egois sering dapat menyebabkan
“kekakuan” para remaja dalam cara berfikir maupun bertingkah laku. Persoalan
yang timbul pada masa remaja adalah perkembangan fisik yang dirasakan
mengagnggu dirinya dalam bergaul, karena menduga orang lainikut tidak puas
dengan penampilan dirinya. Hal ini menimbulkan perasaan seperti selalu diamati
orang lain, malu, dan membatasi gerak-geriknya yang berakibat kecanggungan
dalam bertingkah laku. Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya
menimbulkan reaksi lain, yaitu melebih-lebihkan dalam penilaian diri, merasa
dirinya “hebat” sehingga berani melakukan aktifitas yang tergolong
membahayakan.
Melalui banyak pengalaman serta dalam menghadapi
pendapat orang lain, sifat egonya semakin berkurang dan pada akhir masa remaja,
pengaruh egosentrisitas cenderung semakin kecil. Sehingga iia dapat berhubungan
dengan orang lain tanpa meremehkan pendapat dan pandangan orang lain.
5.
Mengembangkan
Keterampilan Sosial pada Remaja
Sebagai makhluk sosial, remaja dituntut untuk mampu
memecahkan persoalan yang timbul dari hasil interaksi dengan lingkungan sosial
dan mampun menempatkan diri sesuai dengan norma yang berlaku. Oleh karena itu,
ia dituntut menguasai keterampilan-keterampilan soaial dan kemampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkuangan sekitarnya (aspek psikososial).
Keterampilan tersebut dikembangkan sejak anak-anak, misalnya dengan memberikan
waktu yang cukup bagi anak-anak untuk bermain dengan teman sebayanya,
memberitugas dan tanggung jawab sesuai dengan perkembangan anak, dan
sebagainya. Dengan mengembangkan keterampilan sejak dini, anak akan mudah
memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dpt berkembang secara
normal dan sehat.
Pada masa remaja keterampilan sosial dan kemampuan
penyesuaian diri menjadi semakin penting, karena remaja sudah memasuki dunia
pergaulan yang lebih luas dan pengarung teman_teman serta lingkungan sosial
sangat menentukan. Jika hal tersebut gagal , akan menyebabkan remaja sulit menyesuaikan
diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan rasa rendah diri,
dikucilkan, berprilaku kurang normative, dan bahakan dapat menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan criminal, tindakan
kekerasan, dan sebagainya.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai
remaja adalah memiliki keterampilan sosial untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan sehari-hari. Keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan
berkomunikasi, menghargai diri sendir dan orang lain, mendengarkan pendapat
orang lain, membri atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang
berlaku, dan sebagainya.
Menurut hasil studi Davis dan Forsythe (1984), dalm
kehidupan remaja terdapat delapan aspek keterampilan sosial yaitu:
a.
Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
anak dalam mendapatkan pendidikan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga tidak
harmoni tidak mendapatkan kepuasan psikis cukup akan sulit mengembangkan
keterampilan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dari:
ü Kurang
adanya slaing pengertian
ü Kurang
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua dan saudara
ü Kuarng
berkomunikasi secara sehat
ü Kurang
mampu mandiri
ü Kurang
mampu memberi dan menerima sesame saudara
ü Kurang
mampu bekerja sama
ü Kurang
mampu mengadakan hubungan yang baik
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, penting bagi
orangtua untuk menjaga keharmonisan keluarganya.
Keharmonisan dalam hal ini tidaklah identik dengan
keluarga yang utuh, orang tua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam
membantu perkembangan psikososial anak. Orang tua sebaiknya menciptaka suasana
demokratis di dalam keluarga agar remaja dapat menjalin komunikasi yang baik
antar anggota keluarga. Dengan demikian segala konflik yang timbul akan mudah
diatasi.
b.
Lingkungan
Sejak dini, anak-anak harus sudah diperkenalkan
dengan lingkungan, yang meliputi lingkungan rumah, lingkungan sosial/tetanga,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat luas. Dengan
demikina, anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkuangan yang luas.
c.
Rekreasi
Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya
terpenuhi, karena denga rekreasi anak akan mendpatkan kesegaran fisik maupun
psikis, terlepas dari rasa capek, bosan, monoton, serta mendapatkan semangat
baru.
d.
Pergaulan
dengan lawan jenis
Sebaiknya remaja tidak dibatasi pergaulannya hanya
dengan teman-teman yang memiliki jeni kelamin yang sama, karena pergaulan
dengan lawan jenis akan memudahkan anak dalam mengidentifikasi sex role
behavior yang sangat penting dalam persiapan berkeluarga.
e.
Pendidikan
Didalam sekolah diajarkan keterampilan sosial yang
dikaitkan dengan cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar
sesuai dengan jenis pelajarannya. Dalam hal ini peran orang tua adalah menjaga
ketermpilan tersebut tetap dimiliki oleh anak dan dan dikembangkan sesuai tapah
perkembangannya.
f.
Persahabatan
dan solidaritas kelompok
Pada masa remaja, peran kelompok dan teman-teman
sangat besar, sehingga lebih mementingkan urusan kelompok dibanding urusan
dengan keluarga. Dalam hal ini orang tua memberi dukungan kepada anak selama
kegiatan kempoknya bertujuan positif dan sekaligus mengawasi agar remaja dapat
memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat.
g.
Lapangan
kerja
Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja
sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah dasar, mereka telah
mengenal berbagai lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat sekitar. Setelah
masuk SMA, mereka mendapat bimbingan karier untuk mengarahkan karier masadepan,
sehingga remaja yang terpaksa tidak dapt melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi akan siap untuk bekerja.
h.
Meningkatkan
kemampuan penyesuaian diri
Untuk menumbuhkan kemampuan penyesuaian diri, sejak
awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri, agar mampu
mengendalikan. Untuk itu, tugas orangtua/pendidik adalah membekali diri anak
dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima oranglain, tahu dan mau
mengakui kesalahannya, dan sebagainya. agar remaja tidak terkejut menerima
kritikan, mudah membaur, dan memiliki solidaritas yang tinggi. Selain itu,
sejak awal sebaiknya orangtua/pendidik memberikan bekal agar anak dapt memilih
mana yang penting dan mana yang kurang penting melalui pendidikan disiplin,
tata tertib, dan etika.
6.
Implikasi
Pengembangan Hubungan Sosial Remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan
Remaja umumnya belum mamahami benar tentang nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga menimbulkan hubungan sosial yang
kurang serasi dengan kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Pola kehidupan
remaja yang berbeda dengan kelompok dewasa, dan kelompok anak-anak akan
menimbulkan konflik sosial. Penciptaan kelompok sosial remaja perlu
dikembangkan untuk memberikan ruang kepada mereka kearah prilaku yang
bermanfaat dan diterima oleh masyarakat. Disekolah perlu sering diadakan
kegiatan, bakti sosial, kelompok belajar, dan kegiatan-kegiatan lainnya dibawah
asuhan guru pembimbing.
B.
Perkembangan
Bahasa Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1.
Pengertian
Perkembangan Bahasa
Fungsi bahasa yaitu alat komunikasi yang digunakan
oleh seseorang dalam pergaulannya atau berhubungan dengan orang lain.
Penggunaan bahasa menjadi efektif saat seorang individu berkomunikasi dengan
orang lain.
Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan
kognitif, berarti faktor inteligensi sangat berpengaruh terhadap perkembangan
kemampuan bahasa. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan karena bahasa
pada dasarnya merupakan hasil belajar dari lingkungan.
Jadi, perkembangan bahasa adalah meningkatkan
kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik dengan cara lisan, tertulis,
tertulis maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat. Menguasai alat komunikasi
diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami dan dipahami orang lain.
2.
Karakteristik
Perkembangan Bahasa Remaja
Pola bahasa yang dimiliki dan dikuasi anak adalah
bahasa yang berkembang di dalam keluarga atau disebut bahasa ibu. Perkembangan
kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat sekitar akan
memberi ciri khusus dalam perilaku berbahasa. Pengaruh pergaulan dalam
masyarakat (teman sebaya) terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa anak
(remaja) menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam
kelompok sebaya.
Pengaruh lingkungan yang berbeda antara keluarga,
masyarakat dan sekolah dalam perkembangan bahasa, akan menyebabkan perbedaan
antar anak yang satu dengan anak yang lain. Ini ditunjukan oleh pemilihan dan
penggunaan kosa kata sesuai dengan tingkat sosial keluarganya. Keluarga dari
masyarakat lapisan berpendidikan rendah, biasanya akan lebih banyak menggunakan
bahasa dengan istilah-istilah yang kasar. Sebaliknya, masyarakat terdidik
biasanya akan menggunakan istilah-istilah yang halus dan intelek.
3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan bahasa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a.
Faktor
Umur
Dengan bertambahnya usia dan pengalaman bahasa
seseorang akan berkembangan. Faktor fisik juga ikut mempengaruhi. Pada masa
remaja, perkembangan biologis yang menunjang kemampuan berbahasa sudah mencapai
tingkat kematangan. Disertai perkembangan intelektual remaja akan mampu
menunjukkan cara-cara berkomunikasi yang baik dan sopan.
b.
Faktor
Kondisi Lingkungan
Lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang memberi
andil cukup besar terhadap kemampuan berbahasa. Perkembangan bahasa di
lingkungan perkotaan berbeda dengan lingkungan pedesaan. Begitu pula dengan
perkembangan bahasa di daerah pantai, pegunungan, daerah-daerah terpencil dan
di kelompok sosial lain.
c.
Faktor
Kecerdasan
Untuk meniru bunyi atau suara, gerakan, dan mengenal
tanda-tanda memerlukan kemampuan motorik yang baik. Ketepatan meniru,
mengumpulkan perbendaharaan kata-kata, menyusun kalimat dengan baik dan
memahami maksud pernyataan orang lain sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja
motorik dan kecerdasan seseorang.
d.
Status
Sosial Ekonomi Keluarga
Keluarga
yang berstatus sosial ekonomi baik, akan mampu menyediakan situasi yang baik
bagi perkembangan bahasa anak-anak dan anggota keluarganya. Hal ini akan tampak
perbedaan perkembangan bahasa bagi anak yang hidup didalam keluarga terdidik
dan tidak terdidik. Dengan kata lain pendidikan dan status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap
perkembangan bahasa. Begitu pula sebaliknya.
e.
Faktor
Kondisi Fisik
Yang dimaksud dengan kondisi fisik disini adalah
kondisi kesehatan anak. Seseorang yang cacat yang terganggu kemapuannya untuk
berkomunikasi seperti bisu, tuli, gagap, atau organ suara tidak sempurna akan
menggangu perkembangan berkomunikasi dan mengganggu perkembangannya dalam
berbahasa.
4.
Pengaruh
kemampuan Berbahasa terhadap Kemampuan Berpikir
Kemampuan berbahasa dan kemampuan berpikir saling
mempengaruhi satu sama lain. Seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya, akan
mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis dan sistematis. Hal
ini akan berakibat sulitnya dalam berkomunikasi.
Ketidaktepatan menangkap arti bahasa akan berakibat
ketidaktepatan dan kekaburan persepsi yang diperolehnya. Akibatnya hasil
proses berpikir menjadi tidak tepat. Ketidaktepatan hasil proses pikir ini
diakibatkan kekurangmampuan dalam berbahasa.
5.
Implikasi
Pengembangan Kemampuan Bahasa Remaja terhadap Penyelenggara Pendidikan
Kelompok belajar terdiri dari siswa yang bervariasi
bahasanya, baik kemampuannya maupun polanya. Menghadapi hal ini guru harus
mengembangkan strategi belajar-mengajar bidang bahasa dengan memfokuskan pada
potensi dan kemampuan anak. Anak diminta melakukan pengulangan (menceritakan
kembali) pelajaran yang telah diberikan dengan kata dan bahasa yang disusun
sendiri. Dengan cara ini guru dapat melakukan identifikasi tentang pola dan
tingkat kemampuan bahasa murid-muridnya.
Dari identifikasi itu guru melakukan pengembangan
bahasa murid dengan menambahkan perbendaharaan bahasa yang tepat dan
benar, sehingga para murid mampu menyusun cerita lebih komprehensif tentang isi
bacaan yang telah dipelajari dengan menggunakan pola bahasa mereka.
Perkembangan bahasa yang menggunakan model
pengekspresian secara mandiri, baik lisan maupun tertulis, dengan mendasarkan
pada bahan bacaan akan lebih mengembangkan kemampuan bahasa anak membentuk pola
bahasa masing-masing. Oleh karena itu sarana perkembangan bahasa seperti
buku-buku, surat kabar, majalah, dan lain-lainnya hendaknya disediakan di
sekolah.
C.
Perkembangan
Emosi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Kehidupan
anak penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu.
Apabila dorongan, keinginan atau minatnya dapat terpenuhi, anak cenderung
memiliki perkembangan emosi yang sehat dan stabil. Ia tidak akan tehambat oleh
gejala ganggauan emosi. Sebaliknya jika dorongan dan keinginannya tidak dapat
terpenuhi karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang, sangat dimungkinkan
perkembangan emosionalnya akan mengalami gangguan.
Oleh
karena itu, gejala-gejala emosional seperti rasa kecewa, marah, takut, bangga,
malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa perlu dicermati dan
dipahami dengan baik oleh orang tua dan guru.
1.
Pengertian
Emosi
Perasaan yang terlalu menyertai perbuatan kita
sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan
sebagai perasaan, tetapi dapat pula disebut sebagai emosi. Oleh karena itu,
emosi dan perasaan tidak mudah dibedakan. W.J.S Poerwadarminta dalam kamusnya
mendefinisikan emosi sebagai perasaan batin yang keras (timbul dari hati).
Biasanya dikatakan bahwa masa remaja disebut “Sturm
and Drang”, artinya suatu masa dimana terdapat ketegangan emosi yang
dipertinggi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam keadaan fisik dan
bekerjanya kelenjar-kelenjar yang terjadi pada waktu ini. Menurut Crow & Crow
(1958), pengertian emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik.
Perubahan-perubahan fisik pada
seseorang, seperti:
a. peredaran
darah bertambah cepat bila marah
b. denyut
jantung bertambah cepat bila terkejut
c. bernapas
panjang bila kecewa
d. pupil
mata membesar bila marah
e. bulu
roma berdiri bila takut
f. pencernaan
menjadi sakit kalau tegang dan lain-lain
2.
Karakteristik
Perkembangan Emosi
Pola emosi masa remaja sama dengan pola
emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal sering dialami remaja
adalah kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cinta, cemburu, kecewa,
sedih dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan
yang membangkitkan emosi dan pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap
emosinya. Berikut adalah uraian
beberapa kondisi emosional pada remaja.
a.
Cinta
/ kasih sayang
Ciri yang menonjol dalam kehidupan remaja adalah
adanya perasaan untuk mencintai dan dicintai orang lain. Remaja tidak dapat
hidup bahagia tanpa mndapatkan cinta kasih dari orang lain. Para remaja yang
memberontak secara terang-terangan, nakal, radikal, dan menunjukan sikap
bermusuhan umumnya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan kasih sayang dari
orang dewasa. Oleh karena itu, orang tua dan guru perlu memberikan perhatian
dan kasih sayang kepada mereka dengan sebaik-baiknya.
b.
Perasaan
gembira
Orang pada umumnya dapat mengingat kembali
pengalaman-pengalaman menyenangkan yang pernah dialami selama masa remaja.
Remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai sahabat atau bila
cintanya diterima oleh yang dicintai. Perasaan gembira inilah yang mendorong
mereka menjadi bersemangat dalam kehidupannya.
c.
Kemarahan
dan permusuhan
Rasa marah dan permusuhan merupakan gejala emosional
yang penting diantar emosi-emosi yang memainkan peranan menonjol dalam
perkembangan kepribadiaan remaja. Banyaknya hambatan yang menyebabkan kehlangan
kendali terhadap rasa marah, berpengaruh terhadap kehidupan emosional emaja.
Rasa marah ini akan terus berlanjut jika keinginan, harapan, minat dan
rencananya
tidak dapat terpenuhi.
d.
Ketakutan
dan kecemburuan
Masa remaja mengalami serangkaian perkembangan
panjang yang mempengaruhi pasang surut rasa ketakutannya. Banyak ketakutan yang
muncul karena adanya kecemasan-kecemasan sejalan dengan perkembangan remaja itu
sendiri. Remaja umumnya merasa takut pada kejadian-kejadian yang berbahaya atau
traumatik. Satu-satunya cara untuk
menghindari diri dari rasa takut yaitu dengam menyerah terhadap rasa takut itu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja
dalam dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun
Adapun
ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun adalah sebagai berikut.
ü Cenderung
bersikap pemurung
ü Ada
kalanya berperilaku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri
ü Cenderung
berperilaku tidak toleran terhadap orang lain dengan membenarkan pendapatnya
sendiri
ü Mengamati
orang tua atau guru-guru secara lebih objektif dan mungkin marah apabila
tertipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu.
Ciri-ciri
emosional remaja usia 15-18 tahun adalah sebagai berikut.
ü Sering
memberontak, sebagai ekspresi dari perubahan dari masa kanak-kanak ke dewasa
ü Dengan
bertambahnya kebebasan, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang
tuanya, karena mereka mengharapkan perhatian, simpati, dan nasihat dari orang
tuanya.
ü Sering
melamun untuk memikirkan masa depannya. Banyak di antara mereka merasa
berpeluang besar untuk memegang jabatan tertentu. Padahal, untuk mencapai hal
itu tidaklah mudah karena harus memerlukan perjuangan dan pengorbanan.
3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi menunjukan bahwa
perkembangan emosi remaja sangat di pengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor
belajar(Hurlock, 1960:266). Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain
dalam memengaruhi perkembangan emosi.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi
remaja. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain sebagai
berikut.
a.
Belajar
dengan coba-coba
Anak belajar coba-coba untuk mengekspresikan
emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama
sekali tidak memberikan kepuasabn. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada
masa remaja awal disbanding masa sesudahnya.
b.
Belajar
dengan cara meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang
membangkitkan emosi orang lain, remaja bereaksi dengan emosi dan metode
ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Remaja yang suka rebut atau
merasa popular di kalangan teman-temannya biasanya akan marah bila mendapat
teguran gurunya.
c.
Belajar
dengan cara mempersamakan diri
Akan menirukan reaksi emosional orang lain yang
tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan
emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d.
Belajar
melalui pengondisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal
memancing reaksi emosionalnya kemudiaan berhasil dengan cara asosiasi.
Pengondisiaan ini terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal
kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, mengenal betapa tidak
rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode
pengondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka atau tidak suka.
e.
Belajar
di bawah bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara berkreasi yang dapat diterima
jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk
bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang
menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap
rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi kemarahannya atau emosi
lain ketika ia beranjak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang
bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini dan memperhalus
perasaan merupakan petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dari latihan serta
pengendalian terhadap perilaku emosional.
Mendekati berakhirnya usia remaja berarti telah
melewati banyak badai emosional, sehingga ia mulai mengalami keadaan emosional
yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya. Ia juga telah
belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika
ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara
spontan dan terbuka ia tampakkan, tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang
disembunyikan.
Jadi, emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan
selubung bagi yang disembunyikan. Misalnya, seorang yang merasa ketakutan
dengan menunjukkan kemarahan, dan seorang yang hatinya terluka, tetapi ia malah
tertawa seperti merasa senang.
Anak tidak boleh menangis oleh orangtuanya, sehingga
waktu remaja, terutama laki-laki, ia jarang menangis walaupun kondisinya
menuntutnya untuk menangis andaikata ada keberanian untuk menunjukkan
perasaan-perasaannya. Sejak kanak-kanak, remaja sudah mengetahui hal-hal yang
ditakutkan, tetapi mereka diajari untuk tidak menjadi penakut. Itulah sebabnya
seringkali mereka takut, tetapi tidak berani menunjukkan perasaan tersebut
secara terang-terangan.
Semua remaja, sejak masa kanak-kanak, telah
mengetahui rasa marah karena tidak ada seorang pun yang tidak hidup tanpa
marah. Remaja juga tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukkan kemarahan secara
terbuka. Di sini, ia harus dia ajarkan untuk tidak hanya menyembunyikan
kemarahan, tetapi juga perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah
apabila marah. Remaja telah mengalami rasa dicintai dan mencintai, tetapi
banyak diantara mereka telah mengetahui cara menyembunyikan perasaan-perasaan
tersebut.
Kondisi-kondisi kehidupan atau pola budaya itulah
yang menyebabkan ia perlu menyembunyikan perasaan-perasaannya. Kenyataan bahwa
para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu
menghayati perasaan-perasaannya misalnya tampak dalam ucapan sambil menunjukkan
kebingungan, “Saya tidak tahu apakah saya mencintai dia”.
Banyak kondisi sehubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan remaja dalam hubungannya dengan orang lain yang membawa
perubahan-perubahan untuk menyatakan emosi-emosinya. Orang tua dan guru
hendaknya menyadariperubahan ekspresi ini karena tidak berarti emosi tidak lagi
berperan dalam kehidupan mereka. Ia tetap membutuhkan perangsang-perangsang
yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosionalnya. Responsnya
berbeda-beda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau
rintangan cita-citanya. Pada akhirnya, ia perlu mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Bertambahnya umur, pengetahuan dan pengalaman berpengaruh signifikan terhadap
perubahan irama emosional remaja.
4.
Pengaruh
Emosi terhadap Tingkah Laku
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan
seseorang menjadi gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, jantung
berdetak cepat, aliran darah/tekanan darah deras sehingga sistem pencernaan
terganggu. Cairan pencernaan atau getah lambung terpengaruh oleh gangguan
emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat
pembantu mencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat atau
mengganggu pencernaan.
Diantara rangsangan yang meningkatkan kegiatan
kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau
kronis. Kegembiraan yang berlebihan, kecemasan, dan kekhawatiran menyebabkan
menurunnya kegiatan sistem pencernaan dan kadang-kadang menyebabkan sembelit.
Satu-satunya cara penyumbatan yang efektif adalah menghilangkan penyebab
ketegangan emosi. Radang pada lambung tidak dapat disembuhkan, demikian pula
diare dan sembelit, jika faktor-faktor yang menyebabkan munculnya emosi tidak
dihilangkan.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan
berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang
gagap. Seorang yang gagap sering dapat normal berbicara jika dalam keadaan
relaks atau senang. Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi yang
menyebabkan kebingungan maka akan menunjukkan kegagapannya.
Perilaku ketakutan, malu-malu atau agresif dapat
disebabkan ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda
terhadap setiap orang yang kita jumpai maka akan timbul emosi tertentu. Seorang
siswa bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi
karena sesuatu yang terjadi pada situasi belajar di kelas. Jika ia merasa malu
karena gagal dalam menjawab soal tes lisan, pada kesempatan lain, ia mungkin
menjadi takut ketika menghadapi tes tertulis. Akibatnya, ia memutuskan untuk
membolos, atau mungkin melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu
melarikan diri dari orangtua, guru atau dari otoritas lain.
Dengan demikian, gangguan emosional dan frustasi
mempengaruhi efektivitas belajar seseorang. Seorang anak di sekolah akan
belajar lebih giat dan efektif bila ia termotivasi. Selanjutnya, ia akan
mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Rasa senang
karena berhasil mencapai prestasi akan mengurangi rasa takut dan kelelahan.
Karena reaksi setiap siswa tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan
harus disesuaikan dengan kondisi emosional anak. Rangsangan-rangsangan yang
menghasilkan perasaan tidak menyenangkan akan mempengaruhi hasil belajar dan
sebaliknya rangsangan yang menghasilkan perasaan menyenangkan akan mempermudah
dan meningkatkan motivasi belajar.
5.
Mengenal
Kecerdasan Emosi Remaja
Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress,
yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang
pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12
sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), yaitu fase remaja
awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun
sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun).
Diantaranya juga terdapat fase puberitas yang merupakan fase yang sangat
singkat dan terkadang menjadi masalah sendiri bagi remaja dalam menghadapinya.
Fase pubertas ini berkisar usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun
(Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Pada fase itu,
remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormone dalam tumbuhnya dan hal
ini memberi dampak pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis,
terutama emosi. Masa puberitas berada tumpang tindih antara masa anak dan masa
remaja, sehingga adanya kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja
mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak
terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga,
sekolah dan teman-teman sebaya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya
dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial
tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk menyesuaikan diri secara
efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa
remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk
memenuhi tuntutan gejolak energinya, remaja sering meluapkan kelebihan
energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan
betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam
lingkungannya.
Mengingat bahwa remaja merupakan masa yang paling
banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka
menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan
emosional ini terlihat dalam upayanya untuk memberikan kesan yang baik tentang
dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan
diri dengan lingkungan, mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi
emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang
lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Goleman (1997) mengatakan bahwa koordinasi suasana
hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang dapat
menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati,
orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih
mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih
lanjut, Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengenalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan dan mengatur suasana hati.
Adapun Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasarn emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
Selanjutnya, Howes dan Herald (1999) mengatakan,
pada intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang
menjadi Pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia
berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan
sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional
menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri
dan orang lain.
Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah dikatakan
bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai
perasaan diri sendiri dan orang lain dan menanggapinya dengan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Unsur
penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (menangani suatu
hubungan), dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain).
Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan
kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya, perlu diakui bahwa kecerdasan
emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di
sekolah, tempat kerja dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan
emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan
dalam kehidupan sehari-hari.
a. Mengenal emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini
diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan
psikologis dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan
yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak
peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan
keputusan masalah.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi
berarti menangani perasaan agar terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan
kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil
dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat.
Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus
menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal
negatif yang merugikan sendiri.
c. Memotivasi diri
Kemampuan
seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal berikut :
ü Cara
mengendalikan dorongan hati
ü Derajat
kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang,
ü Kekuatan
berpikir positif,
ü Optimisme,
dan
ü Keadaan
flow (mengikuti aliran) yaitu keadaan
ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang
terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan
memotivasi diri, seseorang cenderung memiliki pandangan yang positif dalam
menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati atau
mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang
terbuka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
Sebaliknya, apabila seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya
sendiri, ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain
Seni dalam
membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung
keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan,
seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan semacam ini menyebabkan seseorang seringkali dianggap
angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan.
6.
Implikasi
Pengembangan Emosi Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Sehubungan dengan emosi remaja yang
cenderung banyak melamun dan sulit diterka, satu-satunya hal yang dapat guru
lakukan adalah memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa
tanggung jawab moral. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong
mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Remaja
berada dalam keadaan yang membingungkan dan sulit diterka perilakunya. Dalam
hal ini, ia bergantung pada orangtua tentang keperluan-keperluan fisik dan
merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan saat dia tidak
mampu memelihara dirinya sendiri. Namun, ia juga merasa ingin bebas dari
otorita orangtuanya agar menjadi orang dewasa yang mandiri. Hal itu memicu
terjadinya konflik dengan orangtua. Apabila terjadi friksi semacam ini, para
remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapat memperbesar jurang
pemisah antara dia dan orangtuanya.
Seorang
siswa yang merasa bingung terhadap kondisi tersebut mungkin merasa perlu
menceritakan penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia pribadinya kepada orang
lain. Oleh karena itu, seorang guru pembimbing hendaknya tampil berfungsi dan
bersikap seperti pendengar yang bersimpatik.
D.
Perkembangan
Nilai, Moral, dan Sikap Perserta Didik Usia Sekolah
Menengah
(Remaja)
1.
Pengertian
Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat
kebiasaan dan sopan santun
(Sutikna,1988: 5). Sopan santun,
adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
adalah nilai-nilai hidup yang menjadi
pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai
warga negara Indonesia. Nilai
mendasari sikap dan perilaku sesorang dalam bersikap dan bertingkah laku.
Moral adalah adalah ajaran tentang baik dan
buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957: 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai
tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang baik
dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali
dalam bertingkah laku.
Menurut Gerungan, sikap secara umum dapat diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Tingkah laku seseorang dapat diramalkan jika sudah mengetahui sikapnya. Tetapi sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi masih berupa kecenderungan tingkah laku.
2.
Karekteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Nilai-nilai kehidupan yang harus
dikuasai remaja tidak hanya sebatas pada adat kebiasaan dan tingkah lakusaja, tetapi
seperangkat nilai-nilai yang secara
keseluruhan terkandung dalam Pancasila. Seorang remaja dalam tugas perkembangannya dituntut untuk dapat mempelajari dan membentuk perilakunya agarsesuai dengan harapan lingkungannya tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong,
dan diancam dengan hukuman seperti
pada waktu anak -anak.
Michel meringkaskan empat perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja,
sebagai berikut :
ü Pandangan
individu semakin lama semakin abstrak.
ü Keyakinan
moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
ü Penilaian moral
menjadi semakin kognitif, sehingga remaja menjadi lebih berani mengambil keputusan
dalam menghadapi berbagai masalah.
ü Penilaian moral secara
psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Dari hasil penelitian Kohlberg mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral,yaitu:
a.
Tingkat Prakonvensional
pada
tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Tingkatan
ini dibagi menjadi dua :
1)
Tahap orientasi hukuman dan
kepatuhan
Anak berorientasi pada kepatuhan dan
hukuman. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya
kekuasaan yang
tidak dapat diganggu gugat. Ia harus menurut kalau tidak akan memperoleh
hukuman.
2)
Tahap orientasi
relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang
seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terhadapa elemen kewajaran tindakan yang
bersifat resiproksitas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik
dan pragmatis.
b.
Tingkat
konvensional
Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga,
kelompok atau bangsa. Ia memndang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya
sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Tingkatan ini
memiliki dua tahap:
1)
Tahap orientasi
kesepakatan antarpribadi atau orientasi
Pada tahap ini dimana anak
memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan
yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Mereka
melakukan perbuatan atas
dasar
kritik dari masyarakat.
2)
Tahap orientasi
hukuman dan ketertiban
yaitu
tahap mempertahankan norma-norma sosial
dan otoritas. Perbuatan
baik yang
diperlihatkan seseorang
merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan
aturan-aturan yang
ada, agar tidak timbul kekacauan.
c.
Tingkat
pasca-konvensional
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk
merumuskan ilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan da dapat
diterapkan. Ada dua tahap pada tingkat ini, yaitu:
1)
Tahap orientasi kontrak sosial legalitas
merupakan tahap orientasi
terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan social.
Pada tahap ini,seseorang
harus
memperlihatkan kewajibannya
kepada masyarakat
karena lingkungan social
akan memberikan perlindungan
kepadanya.
Originalitas
remaja juga masih
tampak pada tahap ini.
2)
Tahap orientasi prinsip etika universal
Tahap ini disebut
Prinsip Universal. Pada tahap ini ada
norma etika disamping
norma pribadi dan subjektif.
Unsur
etika disini
yang
akan menentukan
apa yang
boleh dan baik dilakukan dan sebaliknya.
Remaja mengadakan
tingka laku-tingkah laku moral yang
dikemudikan oleh tanggung
jawab batin sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar